BBM NAIK, PETANI
ACEH SENGSARA
Oleh : Hendra Saputra*
Serangkaian aksi unjuk
rasa penolakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) semakin marak saja. Tak
terkecuali di Banda Aceh, minggu (18/3) puluhan mahasiswa yang tergabung dalam
Dewan Pimpinan Pusat Barisan Muda Mahasiswa Aceh (DPP-BM2A) melakukan unjuk
rasa menolak kenaikan harga BBM di Bundaran Simpang Lima Banda Aceh. Sehari
sebelumnya aksi serupa dilakukan oleh massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) (Serambi Indonesia 19/3).
Kendati unjuk rasa menentang kenaikan harga
BBM hampir terjadi di seluruh daerah, namun tampaknya pemerintah tidak akan
bergeming. Banyak kalangan memprediksikan kenaikan harga BBM tetap akan terjadi
per 1 April 2012. Pemerintah berdalih
kenaikan harga minyak dunia yang menembus harga US$ 122/barel (Februari 2012)
dan diprediksi akan terus meningkat mengakibatkan pembengkakan alokasi anggaran
tambahan. Kondisi ini terjadi karena penetapan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam APBN
2012 hanya US$ 90/barel sehingga terjadi gap
antara harga yang ditetapkan dengan harga realisasi. Dengan demikian,
pemerintah mengusulkan opsi kenaikan harga BBM bersubsidi dengan tujuan
merasionalisasikan anggaran untuk subsidi BBM. Dua opsi yang diusulkan
pemerintah adalah : opsi pertama,
menaikkan harga eceran premium dan solar sebesar Rp. 1.500 per liter; opsi kedua, memberikan subsidi tetap
sebesar Rp. 2000 per liter.
Pro kontra kenaikan
harga BBM akan terus berlangsung sampai dengan ditetapkannya keputusan naik
atau tidaknya harga BBM pada 1 April ini. Pemerintah mengasumsikan kenaikan BBM
tidak akan menyengsarakan rakyat karena kebijakan kenaikan harga BBM akan
dibarengi dengan empat skema kompensasi, yaitu : (1) penyaluran Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp. 150.000/Rumah Tangga sasaran
(RTS); (2) beasiswa pendidikan untuk siswa miskin; (3) penambahan jumlah
penyaluran Raskin; dan (4) subsidi pengelolaan angkutan umum. Disisi lain
kalangan kontra terhadap kenaikan harga BBM menilai skema kompensasi yang
diberikan oleh pemerintah terhadap antisipasi kenaikan harga BBM hanya bersifat
sementara dan tidak akan mampu menciptakan kemandirian rakyat miskin untuk
keluar dari kemiskinan itu sendiri. Dari ke-empat skema kompensasi tersebut,
hanya beasiswa pendidikan untuk siswa miskin saja yang dianggap sebagai program
yang cerdas, selebihnya hanya bersifat karitatif (charity) yang
mengakibatkan orang miskin semakin miskin karena bermental “bantuan semata”.
Terlepas dari pro
kontra kenaikan harga BBM, dampak rencana kenaikan BBM mulai dirasakan oleh
masyarakat. Kenaikan beberapa barang
kebutuhan pokok sudah mendahului kenaikan BBM sebulan lalu. Seperti yang diberitakan
koran Radar Jogja (14/3), di pasar Baledono-Purworejo sejumlah kebutuhan pokok
seperti beras, gula, dan bumbu dapur mulai merangkak naik. Kenaikan harga
paling mencolok pada komoditas cabai. Cabai rawit naik drastis dari Rp 20.000
menjadi Rp 30.000 per kilo. Demikian pula
di pasar tradisional Medan, harga gula pasir naik dari Rp 8.000 menjadi
Rp 10.000 per kilo. Demikian pula dengan minyak goreng curah yang meningkat
bahkan harga daging sapi diprediksi akan turut naik (Waspada Online 10/3).
Tidak jauh berbeda
dengan kondisi di Aceh. Serambi Indonesia (19/3) memberitakan beberapa daerah
di Aceh mengalami kenaikan harga sembako. Di kota Lhokseumawe dan Aceh Utara
kenaikan harga sembako seperti gula pasir dan minyak goreng mulai bergerak
naik. Kenaikan harga-harga sembako di Aceh merupakan imbas dari kenaikan harga di Medan. Tidak dapat
dipungkiri sebahagian besar kebutuhan pokok untuk wilayah Aceh dipasok dari provinsi tetangga
ini.
Dampak terbesar akibat
dari kenaikan BBM ini akan sangat dirasakan oleh petani. Kenaikan harga-harga
sembako serta dibarengi dengan peningkatan harga komponen produksi pertanian
seperti kenaikan harga pupuk, bibit, pestisida dan biaya transportasi akan berdampak
pada menurunnya kemampuan daya beli petani. Kondisi akan membuat petani semakin
termarjinalkan. Mesti di ingat, petani merupakan komponen terbesar dari
masyarakat miskin di Aceh.
Dibutuhkan langkah
nyata untuk menyelamatkan petani dari kondisi ini. Kebijakan-kebijakan
pemerintah diharapkan lebih memihak kepada petani. Beberapa langkah antisipasi
yang dapat dilakukan oleh pemerintah tentunya dengan seluruh stakeholder
terkait.
Pertama,
dalam jangka pendek, penyaluran kompensasi harus benar-benar diawasi dan tepat
sasaran. Penentuan penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM)
sebesar Rp. 150.000/Rumah Tangga sasaran (RTS) harus benar-benar tepat sasaran.
Kisruh saat pembagian BLT tahun-tahun sebelumnya sebaiknya dijadikan pelajaran
berharga. Namun penyaluran BLSM ini hanyalah bersifat sementara, sehingga perlu
pemahaman bahwa BLSM hanya sebagai “obat penghilang sakit” saja.
Kedua,
pemenuhan
beras untuk rakyat miskin (raskin) semestinya dipenuhi dari petani lokal. Bulog
diharapkan memproritaskan pemenuhan raskin ini dari produksi lokal dan
mengurangi impor beras. Secara tidak langsung pemenuhan raskin dari petani
lokal lebih membantu para petani untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Ketiga,
percepatan pembangunan sektor pertanian. Progam dan kegiatan yang dilakukan
oleh instansi pemerintah diharapkan mencapai target tepat sasaran dan waktu.
Pencapaian pembangunan pertanian yang tepat waktu dan sasaran sangat membantu
petani sebagai penerima manfaat langsung dari kegiatan tersebut.
Diharapkan pemerintah
serius untuk menghadapi kondisi kenaikan BBM ini, sehingga petani yang menerima
dampak terbesar dapat “sedikit” terselamatkan dari keterpurukan jurang
kemiskinan yang semakin dalam.
*
Penulis adalah Mahasiswa S3 Pembangunan Pertanian – Unand Padang.